Buku Bajakan, Kejahatan yang Menjadi Konsumsi Keseharian
Menerbitkan hasil karya
dalam bentuk buku tentu merupakan impian bagi setiap penulis. Selain sebagai wadah untuk menyalurkan hobi
dan ide, buku juga merupakan mata pencaharian bagi penulis. Namun, bagaimana
bila karya tersebut tidak dihargai dan diapresiasi oleh para pembaca? Bagaimana
bila karya tersebut justru dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab
untuk mendapat keuntungan? Hal inilah yang sedang dikhawatirkan para penulis
saat ini. Maraknya penjualan buku bajakan dan beredarnya pranala yang berisi e-book berbentuk PDF yang dibagikan
melalui aplikasi whatsapp. Tanggapan
para penulis pun berbeda- beda dalam menyikapi hal ini. Ada beberapa penulis
yang bekomentar mengungkapan kekecewaannya melalui media sosial dan ada juga
penulis yang menolak diberi penghargaan atas karyanya.
Latar belakang alasan buku bajakan lebih diminati daripada
buku orisinal adalah perbedaan harga yang cukup jauh. Beberapa pembeli memiliki
pemikiran bahwa, baik buku orisinal maupun buku bajakan, kemasan dan isi buku
yang didapat tetap sama. Belum ada kesadaran untuk mengahargai dan
mengapresiasi karya penulis. Dalam hal ini sebenarnya bukan hanya penulis yang
mendapat kerugian, melainkan juga penerbit, distributor, dan toko-toko buku
yang menjual buku orisinal.
Namun, apakah yang menyebabkan buku bajakan menjadi lebih
murah? Menurut Mukhransyah, kepala cabang Jepe Press Media Utama Kalimantan
Timur, para pembajak berani menjual dengan harga rendah karena hanya
mengeluarkan biaya untuk produksi fisik. “Untuk berhasil menerbitkan sebuah
buku, diperlukan proses yang memakan banyak waktu dan biaya. Pertama, seorang
penulis bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan untuk mengelurkan
sebuah karya. Jerih payah ini akan diapresiasi dengan pemberian
royalti,” ujar beliau. Kemudian, penerbit resmi harus mengeluarkan budget lebih
untuk merilis sebuah buku. “Sebelum dicetak, tulisan yang telah disetor penulis
harus melewati beberapa tahap. Seperti editing, menentukan
ilustrasi dan cover design, dan lain-lain. Penerbit harus
meng-hire orang-orang berkompeten di masing-masing bidang. Belum
lagi mengurus lisensi international standard
book number (ISBN) agar buku dapat diedarkan secara legal di pasaran,”
jelas beliau lebih lanjut. Setelah itu, baru masuk ke tahap
pencetakan buku. Bahan yang digunakan pada buku asli merupakan kualitas
terbaik. Ada standar tertentu yang harus diterapkan, seperti jenis kertas,
tinta, dan lainnya. Tentu saja, biaya produksi yang musti dikeluarkan juga
besar.
Lalu, bagaimana dengan penyebaran e-book berbentuk PDF secara gratis? Dari sisi hukum, penyebaran PDF
buku gratis ternyata memang bukan delik pelanggaran hukum. Ini sangat berbeda
dengan peredaran bajakan buku-buku kertas di gerai-gerai luring maupun daring. Karena memang buku-buku
bajakan itu diperjualbelikan, aktivitas tersebut jelas-jelas melanggar UU Hak
Cipta, dan bisa dipidanakan. Sementara itu, penyebar pranala berisi e-book berbentuk PDF yang dibagikan
melalui aplikasi whatsapp dilakukan tanpa
tujuan komersial apa pun sehingga tidak bisa dikenai pasal-pasal hukum. Alasan
mereka melakukan hal itu pun karena ingin menumbuhkan minat baca dan
mencerdaskan bangsa, padahal bila ditelaah lebih dalam, yang dapat mengakses e-book tersebut hanyalah kalangan urban
kelas menengah yang tentunya mampu membeli buku orisinal. Menurut catatan
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, lebih dari
50% populasi penduduk Indonesia telah mampu mengakses internet. Mayoritas
(72,41%) berasal dari kalangan masyarakat urban. Itu pun porsi terbesar tetap
masyarakat Jawa (57,7%), disusul Sumatera (19,09%), Kalimantan (7,97%),
Sulawesi (6,73%), Bali-Nusa Tenggara (5,63%), dan Maluku-Papua (2,49%). Ini
membuktikan bahwa hanya kelas menengah yang memiliki akses atas koneksi data
internet yang mencukupi untuk mengunduh file PDF ratusan
halaman buku. Hanya kelas menengah pula yang punya akses kepemilikan atas
gawai-gawai yang layak dipakai untuk membaca buku dalam format digital.
Pembajakan buku serta penyebaran PDF secara gratis yang
sangat merugikan penulis ini belum mendapat respons yang serius dari
pemerintah. Eka Kurniawan, penulis buku Cantik
itu Luka, menolak penghargaan kebudayaan dan maestro seni tradisi yang
diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada
Oktober, 2019 lalu. Hal ini merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah
karena belum melakukan tindakan nyata untuk memberantas pembajakan buku. Lalu,
hal apakah yang dapat menjadi solusi atas masalah ini? Meski harga buku masih
terbilang mahal untuk banyak orang, bukan berarti kita lantas menjadikan
pembajakan serta penyebaran PDF gratis sebagai solusinya. Selain merugikan
penerbit, negara, dan penulis secara ekonomi, pembajakan juga bisa mempengaruhi
semangat berkarya para penulis. Indonesia akan kekurangan sumber daya penulis
yang cemerlang. Hal ini juga akan berdampak pada hancurnya dunia literasi kita.
Perpustakaan daring dapat menjadi jawaban atas
permasalahan ini. Melihat adanya kasus pembajakan yang didukung oleh
perkembangan teknologi, sebenarnya kita justru bisa berpikir alternatif lain.
Tentunya alternatif yang jauh lebih murah untuk tetap bisa membaca buku
berkualitas yang diinginkan adalah membaca melalui perpustakaan. Khususnya
perpustakaan daring yang bisa diakses melalui gawai masing-masing.
Kesadaran akan buruknya buku bajakan harus ditanam dalam
diri sendiri. Memang menumbuhkan minat membaca merupakan suatu keharusan dan
kebutuhan, tetapi jangan jadikan hal tersebut alasan untuk tetap membeli buku
bajakan. Karena pembajakan buku, merupakan kejahatan peradaban yang terus
didiamkan. Bila pemerintah masih bungkam, kita yang harus turun tangan membantu
penulis dan penerbit agar karya-karya indahnya tidak tenggelam dan buku bajakan
tidak lagi jadi konsumsi keseharian.
Komentar
Posting Komentar